Transmigrasi merupkan salah satu program yang dilaksankan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan utama mengatasi masalah kepadatan penduduk di Indonesia, yang mulai dilakukan pada tahun 1950 –an. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru, yaitu 1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan 2. Mendukung kebijakan energi alternatip (bio-fuel) 3. Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia 4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan 5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan.
Program ini tidak berjalan mulus dan mendapat tangapan dari berbagai pihak. Ada anggapan, bahwa Program Transmigrasi hanya bersifat memindahkan kemiskinan atau kebodohan ke daerah baru. Seperti pernyataan dari Koordinator Nasional Kaukus Papua di Parlemen RI Paskalis Kossay, bahwa program transmigrasi itu, seolah-olah hanya memindahkan orang miskin atau kemiskinan dan kebodoahan dari satu wilayah ke wilayah lain. Pernyataan ini nampaknya agak bertolak belakang dengan Program pemberdayaan Transmigran yang telah diselenggarakan oleh Balatrans. Saat ini kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (kemenakertrans) mimiliki lima Balatrans sebagai Unit pelaksana teknis pusat, yaitu Balatrans Pekan Baru (wilayah Sumatra), Yogyakarta (wil. Jawa), Denpasar (wil. Bali, NTB, dan NTT), Banjar Masin (wil. Kalimantan dan sekitar) serta Makasar (wil. Sulawesi, Maluku, dan Papua).
Kritikan juga datang dari pakar social LIPI Hermawan Sulistiyo, bahwa pemerintah jangan lagi mengurusi Transmigrasi, tapi lebih fokus pada program-program lain yang lebih penting, seperti Program Keluarga Berencana (KB).
Hal lain yang terjadi dari Program ini adalah banyaknya kasus-kasus yang terjadi di daerah Transmigrasi, oleh Para Transmigran dengan warga lokal. Tidak ketinggalan dengan yang terjadi di Papua dan Papua Barat, seperti Kasus penguasaan lahan oleh para Trans dan adanya kecemburuan sosial yang merupakan faktor utama penyebab konflik SARA. Efek lain akibat Program Transmigrasi di Papua adalah miningkatnya pengangguran penduduk asli Papua. karena Program ini sangat nyata dapat menghambat atau menutupi kesempatan kerja bagi orang asli Papua, baik yang bertindak sebagai Transmigrasi Penduduk Setempat (TPA) maupun yang berpendidikan formal.
Meningkatnya TPA dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan TPS, seperti lewat Balatrans mengakibatkan minimnya pengetahuan oleh TPS akan Inovasi-inovasi baru. Sehingga menjadi salah satu kendala bagi mereka untuk mengolah sumber daya mereka sendiri. Kenyataan seperti ini seolah-olah ada anggapan ketidakmampuan untuk bersaing. Yang terjadi adalah akan ada lebih banyak lagi pengiriman TPA ke Papua. Sangat jelas bahwa penambahan tersebut akan menutupi kesempatan kerja bagi TPA untuk kreatif, sehingga mereka (TPA) enggan untuk menjadi transmigrasi lagi yang berujung pada peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan.
“ Melkias Yeke Gombo (Angota DPRP) : DPRP akan menolak segala bentuk program untuk mendatangkan penduduk dari luar Papua. Jika pemerintah ingin membuat program transmigrasi, lebih baik diberdayakan lewat Trans lokal Papua atau penataan penduduk lokal secara baik”
Ke dua adalah minimnya kesempatan kerja bagi orang asli Papua berpendidikan di jajaran pemerintahan. Adalah akibat telah berevolusinya fungsi sebenarnya dari Program Transmigrasi, yaitu dimana pra trans yang datang akan melakukan proses reproduksi yang merupakan ciri khas dari setiap mahluk hidup. Anak-anak dari para trans ini tidak semua, bahkan sudah tidak ada lagi yang turun ke sawa atau ladang sebagai petani dan ini merupakan hal yang wajar. Namun di sisi lain ketika mereka telah menempuh jalur pendidikan bahkan sampai perguruan tinggi dan setelah lulus, tekat mereka tak lain adalah mendapat jatah di pemerintahan sebagai PNS maupun Polri di Papua. Sangat jelas bahwa akan terjadi kompetisi antara lulusan asli Papua dan non Papua (anak Trans) yang semestinya sudah menjadi hak paten bagi putra-putri Papua untuk menjadi pemimpin di negeri sendiri.
“Hasil rekapitulasi data kepegawaian Kabupaten Jayapura, per Desember 2009, menyebutkan jumlah PNS di Kabupaten Jayapura sebanyak 4.557 orang. 2.321 diantaranya adalah asli Papua. Terdiri dari 152 PNS yang berasal dari Jayapura, dan 819 lainnya dari luar Jayapura. Sementara itu, PNS non Papua di kabupaten ini sebanyak 2.236 orang yang tersebar pada sejumlah instansi di wilayah itu”.
“Cenderawasih Pos RADAR BIAK, 13 Desember 2003: Biak memiliki hanya beberapa perusahaan, dari sektor swasta dan negara, dan sulit bagi orang Papua untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagaiman tersebut di atas, kesempatan kerja di Papua (termasuk Biak) didominasi oleh pendatang (kaum migran) dari Indonesia. Angka pengangguran (pencari kerja) di Biak tahun 2003 berkisar 1.444 orang (tidak termasuk yang belum terdaftar). Ini merupakan angka produktif dari jumlah penduduk Biak yang sekarang berkisar 160.000 jiwa.
"Pengangguran di antara masyarakat pribumi Papua mengakibatkan banyak masalah sosial seperti kriminalitas, pemabukan alkohol, pelacuran, pelecahan HAM perempuan, perceraian, pelecehan HAM anak, pencurian, kerja paksa, dll".
Dari dua teladan diatas jelas dapat memberi gambaran kepada kita, bahwa Program TPA ke Papua harus dihentikan. Tapi ternyata kenyataannya lain dengan adanya persetujuan dari 14 Gubernur, termasuk Gubernur Papua barat untuk mendukung Program Transmigrasi dan menandatangani Nota Kesepakatan (MoU) di Solo tanggal 16 Juni 2011 lalu.
Sugguh sangat di sayangkan, bahwa pemerintah Papua dan Papua Barat sama sekali tidak memperdulikan nasib warganya sendiri dan membuka pintu lebar-lebar bagi orang asing untuk datang menjadi pemimpin dan menjajah di tanah Papua. Sungguh anehnya saya katakan, bahwa orang asli Papua sepertinya sedang dihibernasikan oleh para pemimpinnya sendiri sambil menunggu musim semi yang tak kujung tiba. (Anthon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thank you